Chief Executive Officer (CEO) GarudaFood Sudhamek AWS |
GarudaFood
yang bertolak dari perusahaan keluarga yang berbasis di Pati, Jawa Tengah, ini
kini mulai merambah secara perlahan jadi perusahaan multinasional. Hal itu
antara lain dengan menjajaki pengembangan usahanya ke China dan kemungkinan ke
beberapa negara di Asia Tenggara.
Chief
Executive Officer (CEO) GarudaFood Sudhamek AWS mengungkapkan, GarudaFood
melompat cepat saat muncul dengan slogan iklan ”Ini Kacangku”. Berikut petikan
wawancara dengan ayah dari dua putra dan seorang putri di Jakarta pada
pertengahan Agustus 2010:
GarudaFood relatif
melompat cepat, apa kiatnya?
Kami mulai dari kacang kulit dan saya terlibat
akhir tahun 1994. Saya melihat peluang. Kakak saya (11 orang, saya paling
bungsu) meminta menangani ini. Industri kacang ini lebih pada produksi. Saya
melihat kurangnya pemasaran. Dari kacamata konsumen, mereka melihat kacang itu
lebih dari sekadar produk kacang, tetapi masuk dalam kategori snack (makanan kecil). Kalau sudah kategori ini, tak bisa lagi
dilihat komoditas. Saya mulai mengubahnya, termasuk membuat merek. Awalnya
tidak mulus. Semua stakeholder waktu
itu berpikir usaha kacang kok mau pakai merek, apalagi butuh uang banyak. Namun,
saya yakin dan pantang mundur. Saya yakinkan kalau terus seperti ini, akan
tetap kecil dan bertarung di laut yang sama atau red ocean. Sama-sama kelelahan. Mereka akhirnya setuju.
Saya siapkan uang sekitar Rp 600 juta. Awalnya gagal. Sempat nervous juga.
Sudah dengan merek
Garuda?
Merek
kacang Garuda itu sejak awal tahun 1980-an. Saat itu ada dua merek, yakni Naga
Terbang dan Garuda. Dalam perjalanan, merek Garuda yang dikembangkan. Dengan
organisasi yang kecil, kemampuan terbatas, tetap diupayakan. Pemasaran itu
seperti koin, setengah seni dan lainnya ilmu. Waktu itu kami lebih pada seni.
Kreativitas.
Setelah sempat gagal?
Kami ulangi lagi dan jalan. Mulai melompat
jauh saat muncul slogan yang terkenal, ”Ini Kacangku”. Hanya harus diakui,
sebelum semuanya itu, dilakukan pembenahan serius pada distribusi. Ini kan
negara kepulauan. Kalau masuk dalam fast
moving consumen goods (barang
konsumsi), tanpa menangani jalur distribusi, akan gagal. Kami benahi distribusi
dari tahun 1991 sampai 1994. Setelah baik, kami mulai beriklan. Sempat gagal,
tetapi kemudian berhasil.
Mengapa harus distribusi?
Dalam strategi pemasaran itu kan ada
dua. Push (dorong)
dan pull (tarik).
Saat membenahi distribusi, itu push, dan
saat mulai beriklan, itu pull. Pull itu karena yang ditarik adalah konsumen dan push itu yang didorong pedagang. Bagaimana pedagang mau menjual
produk kami saat kami masih tak ada apa-apanya. Kami pelan-pelan, sabar, dan
telaten. Akhirnya bisa masuk dan kini produk kami merata. Ditambah dengan pull, akhirnya terjadi lompatan besar.
Masuk ke kacang atom?
Saya
berpikir, tak pernah berhenti. Tahun 1996, kami mulai masuk ke produk dengan
subkategori baru. Setelah kacang kulit, masuk ke kacang atom. Semua ini karena
kami punya jaringan distribusi. Saya berpikir kenapa kami tidak ada produk
lainnya selain kacang kulit.
Bagaimana dengan
“stakeholder”, terutama keluarga?
Karena
mereka sudah melihat saya sukses dengan kacang kulit, mereka sepakat masuk ke
kacang atom. Kebetulan kakak perempuan saya ahli dalam kacang atom dan dia
berkenan bergabung dengan saudara-saudaranya yang laki-laki. Jadi, semuanya
bisa jalan. Terjadi lompatan lain lagi.
Perusahaan keluarga
biasanya tak kompak?
Ini mimpi saya yang kedua. Membawa perusahaan
keluarga ini menjalani transformasi manajemen yang baik. Mimpi yang pertama
membawa perusahaan ini menjangkau secara nasional dan regional. Kakak-kakak
saya juga legowo memberikan
kepercayaan kepada saya. Mimpi saya, kalau bisa transformasi dari manajemen
keluarga ke manajemen modern, ini bisa jalan ke tahapan 65 sampai 70 persen,
sudah bagus.
Peran orangtua?
Ayah
saya (Darmo Putro) almarhum maupun ibu (Poesponingroem) almarhum, dengan
ekspresi bicaranya yang berbeda-beda, tetapi esensinya sama, yakni sangat
mengutamakan kekompakan, persatuan. Keluarga kami adalah orang-orang yang
sangat aktif. Dan syukur dengan nilai-nilai yang ditanamkan itu akhirnya tetap
bersatu. Ego-ego dikesampingkan dan bisa menghasilkan seperti ini.
Sejak awal di kacang?
Ayah
itu terlibat sejak usaha kacang ini dibangun kakak-kakak. Ayah merestuinya.
Ayah tadinya berdagang tapioka, hasil bumi di Jawa tengah. Ayah saya ikut
campur sampai akhir tahun 1978. Ibu saya mendukung dengan merawat keluarga.
Semangat yang ditanamkan
ayah dan ibu?
Kami
punya semangat pendiri. Ini pelajaran yang diberikan orangtua, semacam mantra.
Yang ada itu kemudian saya ambil esensinya. Seperti berlian begitulah. Di situ
dikatakan, sebuah kesuksesan itu dimulai dari kejujuran, ketekunan, dan
keuletan, yang diiringi dengan doa. Nilai semacam ini selalu ditekankan
orangtua kami dan jangan lupa juga bersyukur. Semua ini lantas menjadi mantra
bagi perusahaan ini dalam menapak bisnis.
Bahan baku kacang
bagaimana?
Agrobisnis
di Indonesia ini tantangan terbesar ada pada manajemen suplai. Harus diatur
karena kuantitas juga problem, begitu juga kualitasnya. Padahal, di konsumen
sana, kami muncul dengan merek tertentu dengan kualitas yang terjamin. Ini
tantangan. Kami akhirnya mau tak mau juga harus masuk ke hulu. Ada perkebunan
kami sendiri, ada yang kerja sama dengan petani. Model plasma dan inti seperti
di kelapa sawit. Kami punya perkebunan kacang di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Tanah di Jawa agak sulit. Di Lombok juga relatif mudah dalam berusaha. Juga
minim gangguan, terutama dalam penelitian varietas unggul. Untuk penelitian
ini, diperlukan waktu 27 bulan. Bangun pabrik bisa cepat paling beberapa bulan.
Tetapi, untuk sebuah varietas, perlu lama karena ada uji multilokasi. Tanaman
kacang itu sekitar 100 hari, uji lagi 100 hari lagi, sampai ditemukan benih
yang betul-betul kami kehendaki. Lalu, ada sertifikat dari Departemen
Pertanian. Biar jangan diambil pesaing, kacang itu perlu dilindungi.
Soal ekspor ke mana saja?
Kami ekspor ke banyak negara sekalipun dari
sisi nilai belum sesuai yang diharapkan. Tetapi, kalau kita mau masuk dalam
pemain internasional, proses evolusinya melalui beberapa tahapan. Ekspor dulu,
kemudian mulai waralaba (franchise),
kemudian usaha patungan, dan investasi langsung. Kalau sudah di banyak negara,
menjadi perusahaan multinasional. Kami menggunakan kerangka ini. Ada yang mulai
kami ekspor dan waralaba, seperti China. Namun, di beberapa negara lainnya
mulai dengan usaha patungan atau investasi langsung.
Mengapa di China?
Perusahaan
kami baru saja muncul sehingga agak terlambat ke China. Pasar di sana sudah
penuh dengan pesaing (ketat), tetapi ada peluang. Ada sekitar 790 juta penduduk
di pedesaan dan kini sedang digarap ekonominya. Mereka juga belum loyal pada
produk tertentu. Jadi, peluangnya besar, apalagi 790 juta orang ini tiga kali
dari jumlah penduduk kita. Kami mengakuisisi sebuah perusahaan lokal yang sudah
punya jaringan distribusi. Merek kami kacang Garuda tetap dipakai di sana
tentunya dengan penampilan setempat. Ini kan kebanggaan perusahaan, jadi tetap
kami tonjolkan pada produk-produk kami di sana. Namun, merek lainnya juga
dikembangkan sesuai riset pasar mana yang pas tentunya dengan logo kacang
Garuda tetap ada.
Soal penerus?
Kini pendekatan kami manajemen modern
berdasarkan kompetensi. Kalau anak stakeholder baik,
kompeten, dan bisa bekerja keras, mengapa tidak. Daripada dia bekerja pada
perusahaan lain. Tetapi, tetap kompetensi. Yang profesional juga harus kompetensi.
Pokoknya yang terbaik yang akan dipilih. Saya sekarang juga sudah tidak terlalu
terlibat. Saya lebih menanamkan nilai. Makanya, saya lebih banyak di perusahaan
induk, Tudung Grup. (Pieter P Gero)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Erlangga Djumena
Source: kompas.com
No comments:
Post a Comment